Indonesia Menunggu Putin 2

Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Jumat, 09 November 2007
var sburl7050 = window.location.href; var sbtitle7050 = document.title;var sbtitle7050=encodeURIComponent(“Indonesia Menunggu Putin”); var sburl7050=decodeURI(“http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=5720”); sburl7050=sburl7050.replace(/amp;/g, “”);sburl7050=encodeURIComponent(sburl7050);

Dalam kondisi seperti ini, Indonesia, membutuhkan seorang pemimpin berani seperti Putin. Ia berani membuat keputusan yang penuh risiko. [bagian kedua-habis]
Oleh: Amran Nasution

ImageWorld Public Opinion Org, lembaga survei independen dari Washington, bekerjasama dengan Levada Center, sebuah LSM di Moskow, Juni dan Juli tahun lalu, melakukan survei pula. Hasilnya konsisten. Ternyata rakyat mendukung konsentrasi kekuasaan politik di tangan Putin, dan menyetujui langkahnya untuk menasionalisasikan industri gas dan minyak Rusia. “Umumnya rakyat Rusia mendukung reformasi yang dilakukan tim Putin,’’ begitu kesimpulannya.

Tahun ini, Juni 2007, lembaga survei yang terkait dengan University of Maryland itu, kembali melakukan survei. Penerimaan rakyat (approval rating) terhadap Putin mencapai 81%. Itu merupakan approval rating tertinggi untuk pemimpin yang sedang memerintah (incumbent) di seluruh dunia. Bandingkan approval rating Presiden George Bush yang cuma 29%, hampir sama dengan Presiden SBY. Itu memang angka yang sangat rendah untuk Presiden incumbent.

Berdasarkan data World Public Opinion, penerimaan terhadap Putin terendah terjadi Agustus 1999, yaitu 31%. Saat itu ia masih Perdana Menteri. Lalu November 1999, menjelang Putin diangkat menjadi Pejabat Presiden, angka itu melonjak menjadi 80%. Sejak itu, angka penerimaan terhadapnya selalu tinggi, tak pernah di bawah 65%.

Sekali lagi, bila ukuran demokrasi adalah suara rakyat, adalah sangat menarik membandingkan Presiden Putin dengan Presiden Bush. Coba kita bicarakan perang Iraq. Hampir semua survei di Amerika Serikat menunjukkan mayoritas rakyat ingin tentara Amerika segera ditarik dari sana. Nyatanya, sampai sekarang Bush membandel dan rakyat tak bisa bikin apa-apa. Dalam kasus ini jelas sangat salah semboyan yang mengatakan suara rakyat adalah suara Tuhan.

Profesor John Mearsheimer dari Chicago University dan Profesor Stephen M.Walt dari Harvard University, dalam buku yang baru saja terbit berjudul The Israel Lobby and US Foreign Policy, menyimpulkan bahwa kebijakan luar negeri Amerika dalam mendukung Israel selama ini sangat merugikan rakyat Amerika.

Ternyata kebijakan diambil karena pengaruh lobi Israel yang dilakukan secara tertutup, tak transparan, dan tentu tak demokratis. Yang terlibat di sini adalah para Senator, wartawan, pengamat dan para ahli Neocon, para pendeta Kristen Evangelical, sejumlah lembaga think-tank dan organisasi di bawah Lobi Israel, serta para pengambil keputusan di Gedung Putih.

Segepok bukti tentang kerja lobi Israel diungkapkan dalam buku. Maka jelaslah bahwa keputusan ditentukan hanya berdasarkan keinginan kelompok yang sangat elitis. Entah di mana suara rakyat dalam sistem ini.

Keberhasilan lobi Israel menyetir politik luar negeri Amerika, menambah bukti terhadap celaan selama ini bahwa sistem demokrasi liberal cuma menjaga kepentingan orang kaya alias konglomerat. Mereka adalah pemilik pabrik, pedagang kaya, pemilik modal, dan terutama industriawan senjata (military industrial complex). Kepentingan mayoritas rakyat tak terakomodasi, sampai mereka ikut Pemilu setiap 4 tahun.

Sementara itu apa yang dilakukan Presiden Putin ternyata sesuai keinginan rakyatnya. Langkahnya yang sangat berani dan populer di mata rakyat adalah menangkap para konglomerat pencoleng aset negara serta penggelap pajak, dan tukang bawa lari uang Rusia ke luar negeri.

Begini ceritanya. Atas perintah IMF dan Bank Dunia di awal 1990-an, Presiden Yeltsin harus melakukan privatisasi perusahaan BUMN milik Pemerintah. Hal sama juga dilakukan IMF di Indonesia pasca-reformasi 1998, menyebabkan berbagai bank, perusahaan telkom, dan perusahaan sehat lainnya, berpindah ke tangan asing, seperti Bank BCA, Telkomsel, dan sebagainya. Kini sejumlah perusahaan asing sedang mengincar PT Pertamina dan PT Telkom.

Maka itulah yang terjadi di Rusia. Sejumlah BUMN berpindah ke tangan pengusaha swasta, yang umumnya terdiri dari para pejabat Rusia, tapi bekerjasama dengan perusahaan multinasional Barat. Mereka dijuluki sebagai kaum oligarki (oligarch).

Di mata IMF atau Bank Dunia, itulah privatisasi yang diharuskan di dalam sistem ekonomi kapitalis. Di mata Putin, ini penjarahan harta negara. Maka setelah melakukan konsolidasi kekuasaan pada 2003, ia mulai menguber kelompok oligarki.

Korban pertamanya, Mikhail Khodorkovsky, waktu itu merupakan milyarder terkaya di Rusia. Dia pemilik Yukos, perusahaan minyak terbesar Rusia, memiliki ladang di Siberia dengan cadangan 2,3 milyar barel. Produksi Yukos sekitar 400.000 barel/hari, dua kali rencana produksi raksasa minyak Amerika Exon Mobile di blok Cepu, Jawa Timur. Yukos memiliki 4 pabrik penyulingan minyak (refinery), jaringan stasiun gas, dan saham di sejumlah perusahaan energi Pemerintah.

Pada 1993, Khodorkovsky menjabat Wakil Menteri Energi yang berperan dalam mengatur privatisasi perusahaan energi BUMN. Tiba-tiba saja pada 1996, perusahaan BUMN Yukos menjadi miliknya. Khodorkovsky yang berpindah fungsi menjadi pengusaha membayar ke pemerintah hanya 300 juta dollar. Padahal penilai indenpenden menaksir, setidaknya Yukos berharga 22 milyar dollar.

Maka bekas Wakil Menteri itu mendadak menjadi orang paling kaya di Rusia, dengan usia baru 40 tahun. Oktober 2003, Putin menangkapnya. Kini dia menjalani masa hukuman10 tahun di sebuah penjara di Siberia. Perusahaan minyaknya kembali dimiliki BUMN Rusia.

Begitu Khodorkovsky ditangkap sejumlah oligarki lain yang merasa bersalah langsung kabur ke luar negeri. Mereka itu raja minyak, raja baja, atau raja media massa, antara lain, Boris Berezovsky, Vladimir Gusinsky, dan Mikhail Gutseriev. Berezovsky kini mendapat suaka di Inggris, sedang Gutseriev berlindung di Israel.

Para taipan ini umumnya warga keturunan Yahudi. Terbongkarnya berbagai skandal korupsi gila-gilaan ini, menimbulkan kemarahan masyarakat kepada minoritas Yahudi di Rusia. Terjadi berbagai demonstrasi. Tapi Putin berhasil meredamnya.

Selama ini ada mitos bahwa penangkapan konglomerat akan menyebabkan pelarian modal ke luar negeri. Ujung-ujungnya kemerosotan ekonomi. Di Indonesia, kejahatan para konglomerat merampok uang negara Rp 650 trilyun dalam kasus BLBI, tak dibawa ke pengadilan, antara lain, karena dalih itu. Betulkah?

Dalam kasus Rusia, ternyata tidak. Seperti ditulis The New York Times, 8 Agustus 2007, justru investasi asing terus naik di Rusia. Dalam 6 bulan pertama tahun ini, modal bersih yang masuk (net private capital inflow) 67,1 milyar dollar. Itu berarti terjadi kenaikan 360% dibanding periode sama tahun sebelumnya.

Yang menarik, walau minyak sedang menjadi primadona, hanya 30% dari investasi yang mengincar sektor itu. Artinya, di mata para investor, Rusia bukan cuma minyak. Jangan heran bila cadangan devisanya sekarang 413 milyar dollar. Bila dihitung perkapita, itu merupakan cadangan devisa terbesar di dunia, mengalahkan China. Negeri tirai bambu itu memang punya cadangan devisa 1,3 trilyun dollar, tapi penduduknya 1,3 milyar. Sedang penduduk Rusia hanya 142 juta.

Mengikuti kisah Rusia, mengingatkan kita pada nasib negeri sendiri. Bila diamati, apa yang terjadi sejak reformasi 1998, mirip dengan Rusia di zaman Boris Yeltsin. Kita menggunakan sistem demokrasi liberal, maka selama hampir 10 tahun ini, presiden silih berganti tapi kemakmuran rakyat tak kunjung datang.

Pengangguran mewabah, daya beli rakyat merosot, investasi macet, ekonomi mandeg, sementara para konglomerat bertambah makmur. Banyak di antara mereka yang karena krisis ekonomi 1998, sudah bangkrut dililit utang, kini kembali berjaya. Itu terutama karena hubungan mereka dengan pejabat Pemerintah (oligarki), atau mereka sendiri langsung merangkap menjadi pejabat Pemerintah dan pimpinan partai politik, hingga lebih leluasa mengurusi bisnisnya.

Pemberantasan korupsi hanya menyentuh para pejabat pemerintah lama, dan kentara cuma untuk membangun citra di mata rakyat. Sementara itu konglomerat pengemplang BLBI diterima dengan karpet merah di Istana. Ekspor Indonesia yang membuatnya ’’terkenal’’ adalah TKW dan TKI, mirip Filipina. Memang di lingkungan ASEAN, Filipina dan Indonesia saja yang menggunakan sistem demokrasi liberal, sekalian punya hubungan paling dekat dengan Amerika Serikat.

Serupa Rusia dulu, di sini pun banyak pejabat pemerintah, mulai Wakil Presiden, Menteri, anggota DPR, Gubernur, Bupati, adalah politisi yang merangkap jadi pengusaha (oligarki). Sistem demokrasi liberal yang mahal memang menyebabkan para pemilik modal sukses menjadi politisi.

Tapi dalam kasus Rusia terbukti, para pedagang itu cuma mengejar untung atau rente, tak pernah memikirkan rakyat, serta rawan penyalah-gunaan kekuasaan dan korupsi. Khodorkovsky dan kawan-kawan adalah bukti nyata..

Karena itu Juli 2005, dalam sebuah acara di Istana Kremlin, Putin menegaskan, para taipan boleh terus berbisnis di Rusia, selama mereka tak menyampuri urusan politik. Pengusaha mengurusi bisnis, politisi mengurusi politik. Karena yang bicara itu Putin, para pengusaha Rusia kini menjauhi politik.

Mungkin itu sebabnya, sekarang nama Putin banyak disebut orang di Indonesia. Misalnya, dalam diskusi peluncurun buku Letjen (Pur) Sayidiman Suryohadiprojo di Jakarta, 29 Oktober lalu. ‘’Belum pernah ada keadaan yang menimbulkan rasa terpuruk seperti yang sekarang dinyatakan banyak orang,’’ kata Sayidiman.

Perasaan serupa, menurutnya, dialami orang Rusia sehabis Perang Dingin. ’’Munculnya Putin yang berani melawan hagemoni adidaya, mampu mengangkat kepercayaan diri dan juga harga diri bangsa Rusia,’’ kata tokoh senior yang pernah menjadi Gubernur Lemhanas itu.

Indonesia, menurutnya, kini membutuhkan pemimpin berani seperti Putin. Artinya, berani membuat keputusan yang penuh risiko, berani melakukan perubahan, dan tentu saja berani menangkap konglomerat pengemplang BLBI yang membuat rakyat melarat.

Putin memang seakan tak punya rasa takut. Amerika memblokade Iran, karena dalih pengayaan uranium. Tapi pertengahan Oktober lalu, dia justru berkunjung ke Teheran, menemui Pimpinan Tertinggi Ayatullah Ali Khamenei dan Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Itu tentu menyebabkan upaya Amerika untuk menekan Iran melalui DK PBB akan bermasalah, sebab Rusia memiliki hak veto.

Peristiwa di Teheran itu sempat membuat Presiden Bush naik darah. Dia mengancam bahwa kasus nuklir Iran bisa mengakibatkan Perang Dunia III. Suasana politik internasional pun memanas, menyebabkan harga minyak terus merangkak naik.

Putin tak gentar. Ia menuduh pendudukan Iraq oleh Amerika hanya untuk menguasai minyak, karena itu dia minta tentara Amerika segera hengkang. Rencana Amerika memasang sistem radar di Republik Ceko dan pertahanan rudal di Polandia, ditantangnya dengan amat keras. Putin malah menyamakan politik luar negeri Amerika di bawah Presiden Bush dengan apa yang dilakukan pemerintahan Nazi Jerman di zaman Hitler..

Sikap Putin menyebabkan Polandia dan Ceko kini grogi. Itu tentu bukan semata-mata takut pada rudal, tapi juga gas Rusia. Sekitar 40% gas dan 35% minyak yang digunakan Eropa datang dari Rusia.

Maka belum lama ini, kolomnis terkemuka Thomas Friedman menulis di The New York Times, judulnya: The Really Cold War (Perang Dingin Sungguhan). Tulisan itu menganalisa ketegangan hubungan Amerika dan Eropa dengan Rusia, yang nampaknya mengarah ke Perang Dingin baru.

Tapi kalau itu kembali berulang, menurut Friedman, yang terjadi adalah Perang Dingin sungguhan. Rusia menutup saluran gasnya, maka orang-orang Eropa akan menggigil kedinginan. Bulan-bulan ini kawasan itu memang memasuki musim dingin. [habis/www.hidayatullah.com]

[Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta]